Kasus penyadapan pejabat indonesia oleh australia
Dunia intelejen
dengan berbagai kisah heroiknya, bukan hal asing bagi masyarakat kita. Berbagai
roman tingkat tinggi, rumit, dan berbasis teknologi canggih, hadir di televisi
rumah tangga hampir setiap saat. Ditonton oleh bapak dan ibu rumahtangga, bahkan
anak-anak di rumah.
Hampir sebagian
besar masyarakat kita mengenal dekat karakter tokoh spionase cerdas, ganteng
dan cantik dalam film paling laris, James Bond dengan kode agen 007. Sean
Connery ataupun Roger Moore seolah membius dunia sejak serial James Bond
pertama (DR. No) dirilis tahun 1962.
Cerita fiksi
karangan Ian Fleming tahun 1953 ini, sangat menarik perhatian penonton karena
lakon agen inteligen yang berani, pandai dan cekatan dalam operasi spionase
kelas atas yang berbasis pada kegiatan agen rahasia Inggris (Secret
Intelligence Service/SIS) dengan sandi M16 atau nama samaran, Universal
Exports.
Film serial James
Bond adalah ikon universal dan dikenal luas oleh masyarakat dunia. Jadi jika
berbicara mengenai James Bond, kita seolah memaknai operasi spionase paling
canggih, sarat intrik, kaya tipu daya dan penuh romansa.
Khusus bagi
Indonesia, ada satu nama yang seolah terlupakan, namun terkait erat dengan
sejarah perjalanan dunia inteligen Indonesia. Nama itu adalah pulau Saipan,
bagian dari gugusan kepulauan kecil di Pasifik milik Amerika Serikat.
Pulau kecil ini
hanya memiliki panjang 19 kilometer dan lebar 9 kilometer dengan penduduk
sekitar 48.220 orang. Pulau yang hanya berjarak 500 kilometer dari pulau
Morotai ke arah Timur Laut ini direbut Amerika Serikat dari pendudukan Jepang
pada perang dunia kedua melalui pertempuran mematikan (15 Juni-9 Juli 1944) dan
menewaskan lebih dari 30.000 tentara dari kedua pihak.
Kini pulau Saipan
dihuni oleh beragam etnis. Ada orang Ternate, Bugis, Sangir Talaud, Madura,
Dayak, Spanyol, Jepang, China, Philipina, Amerika, Hawaii dan Samoa.
Di era perang
dingin usai perang dunia kedua, Amerika Serikat menjadikan pulau Saipan sebagai
tempat mendidik para mata-mata (spy catcher) asal Indonesia. Selama sembilan
tahun (1953-1962) catatan literatur tersembunyi menggambarkan bagaimana para
calon mata-mata dilatih untuk kepentingan kontra inteligen kubu blok Timur yang
saat itu dipimpin Uni Soviet.
Dalam pergaulan
global yang semakin mengecil karena perkembangan teknologi, kasus
sadap-menyadap akan terus terjadi. Semuanya bergantung hanya pada kepentingan
atau interest yang terus berkembang dinamis.
Dengan
perkembangan teknologi yang begitu pesat dan dapat diproduksi ataupun dibeli
oleh siapapun, hampir tidak ada zona aman operasi inteligen khususnya
penyadapan.
Pada Juni 2000
koran terbesar dan paling dipercaya di Amerika Serikat, Washington Post, secara
terbuka memberitakan informasi penyadapan jaringan komunikasi Gedung Putih dan
CIA. Tuduhan diarahkan pada perusahaan telekomunikasi A Ltd, yang dicurigai
memiliki afiliasi dengan dinas rahasia Israel, MOSSAD.
Skandal penyadapan
terhadap beberapa elit politik Inggris oleh News of the World (NOW) milik raja
media Rupert Murdoch yang menghebohkan dunia, membuktikan bahwa siapapun rentan
terhadap kasus penyadapan. Karena teknologi memang menembus batas dan waktu.
Namun kasus
penyadapan Presiden SBY, Ibu Negara dan beberapa pejabat tinggi Indonesia
lainnya oleh Australia tahun 1999, jelas melanggar moral, etika, hukum dan HAM.
Apalagi penyadapan diarahkan langsung secara personal. Sangatlah bersifat
pribadi dan destruktif. Amatlah pantas jika rakyat Indonesia geram dan marah.
Lalu seberapa
besar kerugian Indonesia jika Presiden SBY ''memutuskan'' beberapa bentuk
perjanjian bilateral dengan Australia? Data memperlihatkan, sangatlah kecil
ketergantungan Indonesia kepada Australia.
KADIN Indonesia
mencatat, tahun 2010 neraca perdagangan kedua negara memperlihatkan Indonesia
surplus. Dari total 8,3 miliar dolar AS nilai perdagangan bilateral, Indonesia
surplus 8,47% atau 4,2 miliar dolar. Indonsia mengekspor emas, peralatan tv dan
produk kayu. Sementara impor dari Australia adalah gandum, hasil peternakan dan
kapas.
Selain
perdagangan, perjanjian bilateral yang sensitif lainnya adalah kerjasama
militer. Pada 12 November 2012 di Cilangkap Jakarta, Panglima TNI saat itu,
Laksamana Agus Suhartono menandatangani nota kesepahaman dengan Panglima
Angkatan Bersenjata Australia (ADF) Jenderal David J. Hurley. Meliputi kerjasama
di bidang inteligen, operasi dan latihan, pendidikan, program khusus dan
logistik.
Juga banyak
perjanjian lainnya, termasuk penanganan masalah pengungsi atau pencari suaka.
Karena alasan geografis dan saling percaya, Australia sangat membutuhkan Indonesia
sebagai kawasan penyanggah dari serbuan para pencari suaka.
Merujuk pada
beberapa aspek utama diatas, ketergantungan Indonesia sebagai negara berdaulat
terhadap Australia sangatlah minimal. Secara politis, sebagai pendiri ASEAN,
Indonesia jauh lebih dihormati di Asia Tenggara dan Asia dibanding Australia.
Sebagai
''jembatan'' Timur-Barat, Utara-Selatan, Atlantik-Pasifik, posisi geopolitik
Indonesia jauh lebih strategis dibanding Australia. Amerika Serikat dan Uni
Eropa pun ''tidak akan pernah berani'' menyepelekan Indonesia, untuk menjaga
keseimbangan kawasan. Belum lagi posisi Rusia dan China, yang memiliki sejarah
persahabatan panjang dengan Indonesia.
Kesimpulannya
adalah, kasus penyadapan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, oleh negara
lain, adalah tindakan penistaan. Klarifikasi dan penjelasan resmi dari
pemerintah Australia, sangatlah dibutuhkan.
Karena selama ini,
sebagai mitra, tetangga dan sahabat, Australia seakan-akan tidaklah pernah
tulus bergaul dengan bangsa Asia. Australia lebih merasa sebagai orang Eropa di
perantauan, ketimbang melihat fakta bahwa mereka adalah pendatang bagi bangsa
Asia.
referensi : www.tribunnews.com
referensi : www.tribunnews.com
No comments:
Post a Comment