SELAMA 22 tahun, sejak 1991, kita sebagai orang Indonesia
selalu mengelus dada jika menyaksikan tim sepak bola nasional bertanding di
level mana pun. Kali terakhir kita harus prihatin ketika timnas U-16 kalah adu
tendangan penalti 2-3 dari Malaysia dalam laga final Piala AFF U-16 di Stadion
Wunna Theikdi, Myanmar. Padahal, timnas U-16 sempat unggul pada menit ke-28
melalui Gatot Wahyudi. Malaysia bisa menyamakan skor 1-1 pada menit ke-88 sehingga
untuk menentukan pemenangnya harus dilakukan adu tendangan penalti setelah
melalui perpanjangan waktu 30 menit.
Namun, seiring dengan peringatan Hari Olahraga
Nasional tiba-tiba menyeruak seberkas sinar yang menyilaukan di ufuk Nusantara.
Pada 22 September, timnas U-19 mampu menjadi juara Piala AFF (ASEAN Football
Federation) di Gelora Delta, Sidoarjo, setelah menang adu tendangan penalti 7
- 6 atas Vietnam. Kemenangan tersebut merupakan lonjakan besar bagi tim Garuda
Jaya karena di babak penyisihan grup dikalahkan Vietnam 1- 2.
Keberhasilan menjadi juara itu merupakan pelepas
dahaga yang sangat menggembirakan. Sebab, selama 22 tahun tidak ada tim dari
negara kita yang bisa menjadi juara di laga resmi sejak merebut medali emas SEA
Games Manila pada 1991.
Memang, timnas U-19 menjadi juara HKTA International
Youth Football Invitation Tournament di Hongkong beberapa bulan lalu. Namun,
itu bukan turnamen resmi.
Sukses timnas U-19 terus berlanjut. Tim Garuda Jaya
menjadi juara grup G kualifikasi AFC U-19 dengan rekor sempurna (tiga kali
menang dari tiga pertandingan). Salah satu tim yang dikalahkan adalah juara
bertahan Korea Selatan yang pernah 12 kali menjuarai turnamen tersebut.
Kemenangan atas Korsel itu benar-benar sensasional. Sebab, bertahun-tahun tidak
ada tim Indonesia yang mampu mengalahkan Taeguk Warriors julukan Korsel.
Keberhasilan tim Garuda Jaya tidak bisa dilepaskan
dari peran besar pelatih Indra Sjafri. Tidak sama dengan pelatih-pelatih yang
lain, pelatih asal Sumbar itu memahami benar sports science. Hal itu dia
terapkan ketika melatih tim U-19.
Laki-laki yang pernah menjadi kepala Kantor Pos Sumbar
itu mampu membentuk mental para pemainnya menjadi sangat tangguh. Itu sudah
terlihat ketika tim Garuda Jaya menghadapi Vietnam di final AFF U-19. Psikis
pemain-pemain muda Indonesia saat ini benar-benar superior berkat polesan Indra
Sjafri. Untuk menjaga kebugaran pemainnya, dia mengawasi menu makanan dan
memerintah mereka untuk cukup beristirahat.
Satu hal lagi yang sukses dilakukan Indra Sjafri.
Yakni, dia tidak segan-segan berkeliling daerah untuk terus mencari bibit
pemain berbakat. Semua itu dia lakukan dengan biaya sendiri. Pelatih tersebut
melihat sukses yang pernah dilakukan Tony Pogagnik (asal Yugoslavia) yang juga
terus mencari pemain-pemain berbakat di daerah. Hasilnya, Indonesia mampu
menahan juara Olimpiade 1956 Uni Soviet 0 - 0 di Melbourne, juara Merdeka Games
1961, dan merebut medali perunggu Asian Games III Tokyo 1958.
Indra Sjafri pernah bermain sepak bola. Namun, namanya
tidak setenar Suhatman Iman. Apalagi jika dibandingkan dengan pemain legendaris
PSP Padang Zulkifli Yasin (alm), yang pada 1963 bergabung dengan Persebaya. Zul
panggilan akrab pemain tersebut sebagai pelatih pernah membawa Persebaya juara
kompetisi PSSI dan membawa Suryanaga juara antar-klub nasional pada 1978.
Namun, sebagai pelatih, Indra Sjafri ternyata lebih sukses jika dibandingkan
dengan Suhatman maupun Zulkifli.
Satu hal lagi yang bisa membuat tim Garuda Jaya
sukses, yakni para pemainnya mau belajar dari kekalahan. Pada 2012, sebagai
inti tim pelajar Indonesia, mereka bertemu tim pelajar Korsel di Iran. Ketika
itu, tim pelajar Indonesia kalah 1 - 2. Dengan belajar dari kekalahan tersebut,
tim U-19, terutama pelatih Indra Sjafri, menerapkan strategi yang jitu sehingga
berbuah kemenangan gemilang di SUGBK. Padahal, di tempat yang sama timnas
pernah dipermalukan 1 - 4 oleh Korsel dalam laga pra Piala Dunia 1986 Zone
Asia. Yang lebih menyakitkan lagi kala bertanding di Seoul, tim kita hanya
kalah 2-0.
Di ajang U-19, Indonesia pernah dikalahkan Korsel 0 -
3 di kualifikasi Piala AFC 2008 pada 8 November 2007. Karena itu, kemenangan 3
- 2 itu benar- benar luar biasa meski diperoleh di SUGBK di bawah siraman hujan
lebat. Semoga kemenangan tersebut merupakan awal kebangkitan sepak bola
Indonesia. Sebab, jalan tim Garuda Jaya masih panjang karena harus tampil di
Myanmar pada Oktober 2014. Dan, bukan tidak mungkin tim Garuda Jaya bertemu
Korsel lagi. Sebab, timnas junior Negeri Ginseng itu juga lolos sebagai salah
satu di antara enam tim peringkat kedua terbaik.
Untuk level sepak bola junior Asia (kini namanya
turnamen U-19 AFC), Indonesia baru tampil 15 kali. Padahal, turnamen tersebut
sudah diadakan 38 kali. Selama mengikuti turnamen tersebut baru sekali
Indonesia menjadi juara. Itu pun juara bersama Burma (sekarang Myanmar) pada
1961.
Ketika itu, tim junior Indonesia ditangani oleh
Djamiat Dalhar. Pelatih tersebut selama menjadi pemain dikenal sebagai salah
seorang di antara trio penyerang Indonesia (bersama Tee San Liong, pemain
Persebaya asal Jember, dan Ramang dari PSM Makassar).
Indonesia ditetapkan sebagai juara bersama dengan
Burma karena di final bermain imbang 0 - 0. Ketika itu, belum ada peraturan adu
tendangan penalti untuk menentukan pemenangnya jika laga final berkesudahan
seri. Indonesia lolos ke final sebagai juara grup A, sedangkan Burma adalah
juara grup B. Di penyisihan grup Indonesia tidak terkalahkan dalam empat
pertandingan dengan prestasi dua kali menang (2 - 0 atas Vietnam dan 2 - 1 atas
Jepang) serta dua kali seri (2 - 2 dengan Korsel dan 1 - 1 dengan Singapura).
Jadi, sudah 53 tahun Indonesia tidak pernah menjadi
juara turnamen junior Asia. Karena itu, tim Garuda Jaya diharapkan bisa
mengulang prestasi gemilang pada 1961 itu. Mengapa dikatakan prestasi gemilang?
Sebab, pada tahun yang sama, tim senior Indonesia menjuarai Merdeka Games di
Kuala Lumpur, Malaysia.
No comments:
Post a Comment